
Artikel ini dibuat untuk menjawab pertanyaan pembaca; kenapa banyak orang
toxic di fandom k-pop besar? Bagaimana sebaiknya menyikapi penggemar toxic?
Supaya pertanyaan ini bisa dijawab dengan baik dan ga menimbukan kesalah
pahaman (serta keributan), artikelnya akan dibagi jadi beberapa sub-bab yang
bisa kamu lihat di daftar isi. Serta, sebelum mulai, ada baiknya kita sepakati
dulu disclaimer berikut;
Artikel ini hanya sebagai sarana informasi dan hiburan. Tidak ada maksud
menjelekkan, merendahkan, atau mengucilkan pihak-pihak tertentu. Mohon baca artikel dari awal sampai akhir
agar kamu bisa memahami keseluruhan konteksnya.
Nah, kalau disclaimer tersebut sudah bisa dipahami dengan baik, mari kita lanjut!
Membedakan Fandom yang Toxic dan Sehat
Sebelum ini, ada masa kita kenal fandom sebagai tempat hiburan yang
mengasyikan. Kita bisa merayakan tokoh-tokoh fiksi (atau pun nyata)
bersama-sama. Kita bisa menikmati cerita hingga semesta yang ditawarkan
sambil berkenalan dengan orang baru.
Tapi, kalau lagi apes, kita mendapati neraka penuh dengan orang-orang yang
tidak ramah kepada orang lain yang lebih “normatif,” “newbie atau awam,” dan
“Muggle.” Tak terbentuk ruang aman untuk membicarakan sesuatu bersama mereka
yang lebih “mengerti” soal seluk-beluk fandom tersebut.
Tidak hanya di fandom K-Pop kita menjumpai penggemar-penggemar yang toxic.
Penggemar toxic bisa ditemukan dimana-mana dan di dalam fandom apa pun.
mereka. Ada semacam “elitisme” dimana para pecinta serial animasi itu merasa
diri mereka lebih baik dari orang lain di luar
fandom.
Fandom Toxic vs. Sehat
Fandom yang baik itu sehat dan apresiatif. Penggemar yang baik, saling
mendukung satu-sama lain dalam kolaborasi di komunitasnya. Mereka melakukan
sesuatu untuk membangun satu dengan yang lain.
Fandom toxic adalah yang sebaliknya. Yaitu, ketika penggemar di dalamnya
saling serang dengan penggemar lain. Ketika kritik mereka akan suatu acara
atau kejadian, diaplifikasi dengan emosi berlebihan.
Penggemar toxic memiliki hubungan abusive dengan konten yang mereka gemari. Yaitu, mereka ga hanya berada di
dalam fandom untuk merayakan sebuah karya atau seorang idola, tapi untuk
mengendalikan dan melakukan manipulasi emosional seputar hal tersebut.
Penggemar toxic bisa juga abusive ke penggemar lainnya. Hal ini bisa terjadi ketika mereka merasa
penggemar lain bukan penggemar “sejati”, dan menganggap orang lain itu
palsu, hanya berpose, atau sekedar
penggemar casual aja.
Orang-orang yang punya selera mainstream, biasanya merasakan tekanan dari
kemarahan penggemar toxic. Contohnya, seorang penggemar toxic dari Star Trek merengutkan wajahnya ketika menyadari seseorang hanya mengerti acara
itu dari orignal series, belum menonton setiap episode
dari setiap serial, dan ga bicara dengan bahasa Klingon.
Kadang-kadang, target dari abuse penggemar toxic adalah anak remaja atau menjelang usia remaja.
Penggemar toxic juga bisa benar-benar jahat dalam
melakukan bullying. Hal ini membuat penggemar toxic
lebih dari sekedar assholes, melainkan orang-orang berbahaya.
ke convention atau fan club. Di Indonesia, kita juga mulai melihat usaha para mimin (admin) dan momod (moderator) menjaga
komunitasnya dari orang-orang toxic tersebut. Tapi, sayangnya, usaha kita
untuk menjaga fandom dari penggemar toxic, hanya makin membenarkan perasaan
para tukang bully itu (menganggap diri mereka di presekusi atau di-bully).
Faktor-faktor Penyebab Lahirnya Fandom Toxic
Posesif, merasa berhak atas sesuatu (entitlement), dan merasa lebih superior dari orang lain, merupakan 3 elemen penting
terbentuknya fandom toxic. Hmm… nikmat ga tuh!
Sifat posesif itu berarti penggemar toxic “merasa
memiliki” konten yang mereka gemari, dan hanya milik mereka saja. Yah,
ibarat seseorang punya kekasih, lalu kekasihnya ga boleh bergaul atau
berinteraksi dengan orang lain mana pun selain dirinya.
Penggemar toxic melihat hal yang dia gemari sebagai “wilayah” atau
“properti” yang mereka jadikan hak milik (merasa berhak atas hal yang
digemari). Penggemar sehat (atau at least ga
toxic) menyadari fakta kalau mereka mengapresiasi tanpa rasa berhak memiliki
hal yang mereka sukai.
Contoh terbaik dari sikap posesif biasanya ditemui dalam kalangan penggemar
idola pop atau idola Jepang. Para perempuan di-stalk dan dilecehkan oleh penggemar yang merasa “berhak” atas perempuan
yang mereka sukai. Jadi, jika seorang idola perempuan membuat keputusan yang tak menyenangkan hati
penggemar, mereka akan menyerang, mengancam, dan melecehkan idola tersebut.
Sikap-sikap semacam itulah yang terlahir dari mentalitas posesif.
Sebaliknya, penggemar yang baik akan menghargai (respect),
mengaggumi, dan memuji sesuatu atau seseorang, tanpa berusaha mengontrol
orang-orang dibalik hal yang mereka sukai.
Entitlement (bisa diartikan juga dengan “sok” dan “paling berhak” atas sesuatu)
bergandengan tangan dengan sifat posesif. Secara dalam kepala mereka
berpikir memiliki hal atau orang yang disukai, pihak manajemen atau
penciptanya “HARUS” melakukan apa pun yang mereka minta.
Contoh, penggemar toxic meminta pasangan romantis atau “shipping” terjadi
dalam sebuah series. Jika hal itu ga terjadi, mereka akan sangat geram dan
marah, hingga mengirimkan “ancaman pembunuhan” ke si pencipta atau penulis
dari serial tersebut.
Sebaliknya, penggemar yang baik, mungkin menginginkan sesuatu atau berpikir
“jalan ceritanya bisa lebih baik” jika series mengarah ke jalan lain. Namun,
mereka paham kalau kadang pembuat acara tidak melakukan apa yang mereka
inginkan. Penggemar yang baik akan menerima hal tersebut, serta menghargai
arahan kreatif yang dipilih oleh si pengarang, secara penggemar yang baik
juga ga menganggap karya itu sebagai milik mereka sendiri.
Kemudian, merasa lebih superior. Penggemar toxic
merasa lebih superior dari penggemar lain yang tidak intens / obsessive, mereka yang sering diberi label penggemar “casual”.
Penggemar toxic juga merasa dirinya “LEBIH BAIK” dari penggemar lain. Mereka
memberi julukan pada penggemar lain dengan sebutan “normies” atau “Muggles”
atau sebutan penuh penghinaan lainnya, hanya agar dirinya merasa menjadi
bagian
dari sebuah klub elit.
Penggemar toxic biasanya komplain tentang interaksinya dengan orang lain
yang tak seobsesif mereka, menganggap orang lain itu “bodoh” dan “dangkal”
sampai menganggap orang lain tidak cukup pintar untuk mengerti apa pun yang
mereka sukai.
Sementara itu, penggemar yang sehat, menerima orang lain yang bukan
penggemar. Mereka tidak begitu memikirkan fakta kalau orang lain bisa punya
kegemaran yang berbeda.
Rasa superioritas para penggemar toxic atas non-penggemar dan penggemar
biasa disebabkan oleh karena mereka mengasosiasikan fandom dengan hal yang
mereka sukai dan kecerdasan atau kedalaman pemahaman.
betapa pintarnya menyukai sesuatu membuat mereka sebenarnya adalah penggemar
yang paling tidak cerdas dari hal itu. Tapi mereka juga yang paling mungkin
mendapatkan perhatian media, meski pun jika mereka minoritas kecil di dalam
fandom.
Echo-chamber Sebagai Mamak dari Para Penggemar Toxic
Budaya penggemar toxic, lebih sering kita jumpai seketika internet menjadi
sebuah echo-chamber (ruang gema).
Sebuah echo-chamber adalah ruang, tempat, dalam
suatu forum atau media sosial, dimana opini yang berbeda tidak bisa
ditoleransi.
Ini berarti kelompok tersebut memiliki mentalitas yang konformis dan seperti
kawanan. Segala sesuatu yang mereka lakukan dan katakan memberi makan
preferensi in-group dan bias out-group.
Ketika orang luar masuk dan secara tidak sengaja membuat kecerobohan di
salah satu kelompok ini, mereka biasanya ‘dididik’ dengan kasar atau
di-banned.
Masih ingat ribut-ribut masalah politik di Internet beberapa waktu lalu? Ya,
ada dokumenter Netflix tentang masalah ini berjudul, Social Dilemma.
para penggemar toxic. Hal itu memberanikan mereka untuk merasa seperti
bagian dari kelompok besar yang diisi dengan orang-orang yang sependapat
dengan mereka. Betapa pun kecilnya sudut pandang dalam sebuah fandom, kamu
akan menemukan jurang yang cukup besar dari orang-orang yang memegang sudut
pandang tersebut.
Latar Belakang Penggemar Toxic yang Juga Toxic dan Amat Kompleks
Narsisme yang Tertutup
Banyak penggemar datang dari kehidupan yang ter-bully atau diasingkan secara sosial karena kegemaran mereka. Hal itu
membuat fandom menjadi sangat penting dan menjadi bagian sentral dalam
identitas mereka.
Konsep akan diri mereka dibangun dari fakta bahwa kegemaran mereka telah
menjadikannya seorang outcast atau kalangan terbuang. Untuk merasionalkan pengasingan itu beberapa
orang berpikir kalau hal itu terjadi karena orang yang tidak sepintar mereka
merasa cemburu. Orang lain yang mengasingkan mereka, tidak mampu mengerti
hal yang SANGAT KEREN DAN INTELEKTUAL yang
digemari oleh penggemar tersebut.
Penggemar toxic acara Rick and Morty melihatnya
seperti itu. Tapi bukan hanya mereka yang menganggap:
- Hal Yang Kusukai membuatku Istimewa
- Aku di-bully karena aku ini Istimewa
Narsisme yang Buka-bukaan
Dalam beberapa kasus, yang berarti ga sedikit kasusnya, penggemar toxic
inilah yang menjadi bully dan membenci orang lain. Mereka bisa jadi seorang perempuan yang
membenci perempuan lain yang menyukai makeup, atau seorang kutu buku yang menertawai penggemar bola dan basket.
keren” dari orang lain karena kegemaran yang berbeda. Akan ada waktu untuk
mereka menyadari kalau pandangan orang di luar dunia mereka justru
sebaliknya (mereka tidak sekeren dan sebaik yang mereka pikirkan dari sudut
pandang orang lain), dan itu rasanya ga enak.
Dampak dari Perundungan dan Diskriminasi
Ketika sebuah perundungan (bullying) terjadi, rasa takut dari kejadian itu membuat korbannya menjadi hype-vigilant. Ketakutan itu membuat seseorang bisa melakukan banyak hal gila. Mereka
bisa mengembangkan pandangan paranoid, reaksi berlebihan terhadap kritik
akan diri mereka atau hal yang mereka sukai.
Karena rasa takut di-bully lagi, beberapa orang melakukan bullying ke
orang lain. Atau melakukan hal yang melebihi porsi dari hal terkait
(merundung orang lain karena kesukaan mereka, seperti contoh di sub-bab
sebelumnya).
Kecanduan Validasi dan Perhatian
Konflik yang tadi sudah dijelaskan, kemudian menciptakan pendirian dan rasa
memiliki yang dikaitkan ke
preferensi in-group, sebuah “surga aman” dari
komunitas penggemar. Secara Online, anggota kelompok memberi dukungan pada
satu sama lain karena menggemari hal yang sama. Tidak berhenti sampai di
situ, tapi mereka mendapatkan “poin” karena menyampaikan pendapat “ortodoks”
kelompok tertentu tentang kegemaran itu melalui cara-cara seperti menyumbang
karya, fanfiction, berpartisipasi di acara pameran
(convention), dan lain sebagainya.
mendapat supply dari jurang online. Apalagi jika
dunia di luar sana kurang bersahabat. Hal itu membuat mereka memiliki
loyalitas ekstrim pada kelompok, dan kebencian ekstrim pada kelompok luar.
Mereka bisa begitu karena terjebak dalam fandom mereka, sehingga mereka
berhenti peduli dengan orang-orang di luar dunia itu.
Bagaimana Sebaiknya Kita Menyikapi Penggemar yang Toxic?
Well, bisa jadi amat sulit untuk menjadi manusia normal dan
rasional dalam sebuah fandom yang terkenal karena sikap toxic
penggemarnya.

Berusaha melabrak penggemar toxic karena sikap mereka hanya akan mendorong
mereka lebih dalam ke echo-chamber, bahkan semakin
mengasingkan mereka secara sosial. Yang ada, perlakuan kasar dan sikap
superior penggemar toxic akan semakin menjadi-jadi.
Berusaha melakukan konfrontasi bisa menyebabkan mimpi buruk, perputaran
argumen tanpa henti, atau lebih epic lagi, membuat
mereka merasa sebagai korban yang ter-bully dan terlecehkan.
“PERHATIAN adalah pengahargaan” atau bahasa jakselnya,
attention is a reward.
bahan pertimbangan kamu menentukan “standard” kualitas orang seperti apa
yang layak mendapat perhatianmu.
Referensi Luar
- Rick and Morty Toxic Fandom, Explained
- What’s Toxic Fandom and What Creates it?
- Echo-chamber (Media) / Wikipedia

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.